Jumat, 25 November 2016

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dimana mata pencaharian penduduknya sebagian besar di sektor pertanian. Sektor pertanian menyediakan pangan bagi sebagian besar penduduknya dan memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian masyarakat terutama di pedesaan. Menyempitnya lahan pertanian yang ada mendorong para petani untuk berusaha meningkatkan pendapatan dengan kegiatan lain yang bersifat komplementer. Salah satu kegiatan tersebut adalah usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Salah satu sektor pertanian yang memiliki potensi besar untuk dapat dikembangkan adalah peternakan sapi potong yang merupakan bagian dari sub sektor peternakan.
Kebutuhan akan daging sapi di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya, demikian pula importasi terus bertambah dengan laju yang semakin tinggi, baik impor daging maupun impor sapi bakalan. Pembangunan bidang peternakan pada dasarnya bertujuan meningkatkan produksi dan populasi ternak dalam rangka mencapai swasembada protein hewani asal ternak, sekaligus memenuhi permintaan konsumsi dalam negeri, perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan pendapatan peternak serta membuka lapangan kerja baru. Sasaran peningkatan produksi komoditas peternakan adalah daging, susu dan telor.
Pembangunan bidang peternakan tidak bisa lepas daripemanfaatan tehnologi peternakan untuk memenuhi tuntutan efisiensi dan perkembangan industri peternakan, serta peningkatan kualitas produk untuk memenuhi tuntutan konsumen terhadap bahan pangan yang bermutu. Potensi pengembangan bidang peternakan di indonesia masih terbuka lebar. Laju peningkatan populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Indonesia akan mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu makanan rumah tangga bertahap mengalami perubahan kearah peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan).
Laju peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4,43%, dibandingkan dengan laju peningkatan produksi sapi potong sebesar 2,33%, maka dalam jangka panjang diperkirakan terjadi kekurangan produksi akibat adanya pengurasan ternak sapi yang berlebihan, sehingga masih disuplai dari impor sebesar 8.912.111 ton. Upaya dalam pengendalian populasi dan perngembangan usaha telah ditempuh oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan dalam rangka mempertahankan penyediaan daging sapi lokal secara kontinyu.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana potensi pengembangan sapi potong di Indonesia?
2.      Bagaimana kelebihan dan kelemahan pengembangan sapi potong di Indonesia?
3.      Bagaimana peluang usaha pengembangan sapi potong di Indonesia?
4.      Bagaimana sumber kekuatan sapi potong Indonesia?

C.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembuatan makalah manajemen penggemukan sapi potong adalah untuk mengetahui potensi pengembangan sapi potong di Indonesia dan kelebihan, kelemahan, serta peluang pengembangan sapi potong untuk menghasilkan swasembada daging.
Manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah mahasiswa dapat mengatahui dan memahami potensi pengembangan sapi potong, dan mampu mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Indonesia
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Volume impor sapi potong dan produk olahannya cukup besar, setara dengan 600−700 ekor/tahun (Bamualim, 2011). Neraca kebutuhan daging sapi yang dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk. Ditinjau dari sisi potensi yang ada, Sulawesi Tenggara selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya ternak dan peternak, lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi.
Usaha ternak sapi potong pada awalnya hanya dilakukan oleh peternak di beberapa daerah tertentu saja di Jawa seperti Bondowoso, Magetan, Wonogir dan Jember. Sekarang telah menyebar ke beberapa daerah diluar jawa juga.  Perkembangan usaha sapi potong dalam bentuk penggemukan sapi (Feedloot) didorong oleh permintaan daging yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Bentuk usaha ternak sapi potong ini bisa dilakukan secara perorangan maupun dalam bentuk perusahaan dalam skala besar, namun ada juga yang mengusahakan penggemukan sapi ini secara berkelompok (Siregar, 2008).
Salah satu daerah yang menjadi potensi utama menjadi pusat usaha ternak sapi dalam pengembangan sapi local adalah Pulau Madura. Pulau ini mampu menyediakan bibit sapi yang baik untuk dijadikan sapi potong. Akan tetapi sampai saat ini pengembangan dan pembinaan usaha ternak sapi Madura belum dilaksanakan secara optimal bila dibandingkan dengan sapi Bali. Jika dikelola dengan baik maka kualitas sapi Madura tidak kalah dengan jenis sapi local lainnya (Asmaki, MAsturi dan Asmaki, 2009).
Di Indonesia terdapat berbagai jenis sapi dari bangsa tropis, beberapa jenis sapi tropis yang sudah cukup popular dan banyak berkembang biak di Indonesia yaitu, Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Ongole, Sapi American Brahman. Berdasarkan iklimnya, sapi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sapi tropis dan subtropics, setiap kelompok sapi berbeda satu dengan sama lainnya. Kelompok sapi tropis secara umum memiliki ciri – ciri mencolok yang sangat mudah dibedakan dengan kelompom sapi yang lain. Tujuan utama pemeliharaan sapi potong adalah untuk menghasilkan daging. Sapi dipelihara dengan baik, setelah tumbuh besar dan gemuk dapat lasngsung dijual atau disembelih terlebih dahulu kemudian dijual dalam bentuk daging. Oleh karena itu, keberhasilan pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan yang dipilih.

1.    Potensi sumber daya sapi potong
Potensi  sumber  daya usaha sapi potong di Indonesia seperti pakan dan bangsa sapi local merupakan faktor yang penting sebagai sumber keunggulan komparatif usaha  sapi potong. Berkenaan dengan pakan, pola pemeliharaan system gembala bebas  atau gembala diikat, walaupun lebih mengandalkan pakan hijauan, ternyata  mampu  memberikan  keunggulan dalam ketersediaan pakan yang mudah. Hal tersebut tercermin dari nilai DRC usaha sapi potong sistem gembala yang kurang dari satu (antara 0,08 dan 0,54), artinya untuk menghasilkan output produksi, biaya input tradable yang dibayar peternak lebih sedikit dengan memanfaatkan hijauan yang tersedia. Ketersediaan  limbah  pertanian  sebagai asupan  pakan juga merupakan sumber daya saing usaha sapi potong di Indonesia. Beberapa penelitian menyebutkan meningkatkan daya saing sebesar 0,63 satuan. Demikian halnya pada efisiensi upah tenaga kerja, semakin efisien tenaga kerja maka daya saing diharapkan akan semakin tinggi. Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan kebijakan yang  perlu terus dilakukan guna meningkatkan daya saing usaha sapi potong. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan,  penyuluhan maupun penyebaran informasi melalui berbagai media, baik elektronik maupun cetak.

2. Kinerja hasil teknologi reproduksi sapi potong
Kinerja produksi sapi potong dapat tercermin dari pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi potong dan kinerja sapi persilangan. Pertambahan bobot badan
harian merupakan dampak dari penerapan teknolog pada komoditas sapi potong di tingkat on farm. Oleh karena itu, maka daya saing dapat dipengaruhi oleh PBBH sapi. Indrayani (2011) melaporkan bahwa dengan PBBH sebesar 0,56 kg/ekor/hari, maka sapi potong di Kecamatan Sungai Puar memiliki nilai DRC sebesar 0,94. Sebaliknya, capaian daya saing sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang lebih tinggi dengan nilai DRC sebesar 0,812 akibat PBBH sapi potong di Kecamatan tersebut mencapai 0,75 kg/ekor/hari.
Penyediaan bibit unggul merupakan faktor yang dapat meningkatkan daya saing (Marques et al. 2011). Data Ditjen PKH (2012b) menyebutkan bahwa bobot
badan sapi Bali siap potong di Indonesia sebesar 276+62 kg/ekor, sedangkan bobot sapi persilangan siap potong mencapai 370+76 kg/ekor. Schutt et al. (2009) melaporkan bahwa penggemukan sapi Brahman di Australia dapat mencapai bobot badan 394+94 kg/ekor, sementara Soeharsono et al. (2010) menyebutkan penggemukan sapi bakalan persilangan Brahman dengan menggunakan bahan pakan lokal dapat menghasilkan bobot akhir sapi sebesar 569+66 kg/ekor. Perbedaan bobot akhir sapi potong antara sapi local dan sapi impor berdampak pada nilai penjualan yang berbeda.
Yuzaria & Suryadi (2011) melaporkan bahwa nilai penjualan sapi impor lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal yaitu masing-masing sebesar Rp. 9,5 juta dan Rp. 8,1 juta. Lebih lanjut dilaporkan bahwa daya saing sapi bakalan impor lebih tinggi dibandingkan dengan sapi bakalan lokal dengan nilai DRC masing-masing sebesar 0,18 dan 0,54. Bobot akhir sapi potong dipengaruhi oleh PBBH, dimana terdapat keragaman capaian PBBH untuk sapi Bali. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa PBBH sapi Bali mencapai 0,34 kg/ekor/hari jika diberi pakan hijauan, sedangkan dengan penambahan konsentrat dan probiotik dapat mencapai 0,53-0,57 kg/ekor/hari (Utomo et al. 2009; Suyasa & Sugama 2012).
Pertambahan bobot badan harian sapi impor Brahman Cross dapat mencapai 1,42 kg/ekor/hari (Soeharsono et al. 2010), sedangkan Schutt et al. (2009) menyatakan hal tersebut mencapai 1,064 kg/ekor/hari. Nilai ini menunjukkan bahwa efisiensi usaha penggemukan sapi lokal masih rendah. Hal ini sesuai penelitian Indrayani (2011) yang menunjukkan bahwa capaian nilai DRC sapi lokal mendekati nilai satu atau berdaya saing lemah. Oleh karena itu, upaya perbaikan usaha penggemukan sapi lokal dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pakan, manajemen budidaya serta penyediaan bibit sapi unggul perlu dilakukan sehingga
usaha sapi potong dapat lebih bersaing.
Pengaruh teknologi terhadap daya saing di tingkat on farm dapat juga ditelaah berdasarkan pelaku usaha yaitu antara peternakan rakyat dan perusahaan komersil. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa peternakan rakyat masih menerapkan manajemen tradisional, sebaliknya perusahaan penggemukan telah menerapkan teknologi yang lebih baik. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan perusahaan penggemukan (DRC = 0,01-0,02) lebih berdaya saing dibandingkan dengan peternakan rakyat (DRC = 0,08) (Perdana 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perbedaaan tingkat daya saing kedua usaha tersebut disebabkan perbedaan tingkat efisiensi usaha, karena sistem pemeliharaan yang berbeda, antara lain:
1)   Lama penggemukan peternakan rakyat adalah 185 hari, dimana perusahaan hanya 68-90 hari.
2)   PBBH sapi lokal adalah 0,53 kg/ekor/hari, sedangkan sapi bakalan impor antara 1,26-1,32 kg/ekor/hari.
3)   Asupan pakan sapi lokal mengandalkan hijauan sementara sapi bakalan impor dilengkapi dengan konsentrat.
Yuzaria & Suryadi (2011) juga menyimpulkan hal yang sama bahwa peternakan rakyat kurang berdaya saing dibandingkan dengan perusahaan penggemukan. Hal tersebut tercermin dari DRC peternakan rakyat sebesar 0,54 sedangkan perusahaan penggemukan sapi potong 0,18. Hal ini bermakna jika pemeliharaan sapi potong semakin baik maka dapat meningkatkan daya saing usaha.

3.    Potensi permintaan daging sapi domestik
Berkaitan dengan aspek pasar, maka kebutuhan permintaan daging sapi di Indonesia yang belum sepenuhnya dipasok dari domestik merupakan peluang untuk mengembangkan usaha sapi potong. Ditjen PKH (2012a) melaporkan bahwa produksi daging sapi domestik belum mampu memenuhi permintaan pasar daging sapi, pada tahun 2012 dari permintaan daging sapi sebesar 509 ribu ton baru terpenuhi sebanyak 414 ribu ton atau baru dapat memenuhi 81% dari permintaan. Di sisi lain, akan diberlakukannya pasar bebas dalam komoditas sapi potong dapat juga mempengaruhi industri sapi potong di Indonesia. Produksi daging sapi domestik yang belum mencukupi kebutuhannya merupakan peluang bagi peternak untuk dapat meningkatkan produksinya. Penelitian Muthalib et al. (2010) menyimpulkan jumlah sapi yang dipelihara memiliki kausalitas positif terhadap daya saing dengan koefisien sebesar 0,510. Sementara itu, Perdana (2003) berpendapat peternakan rakyat dengan skala usaha tiga ekor sapi per peternak memiliki nilai DRC sebesar 0,08 lebih tinggi dibandingkan dengan DRC perusahaan yang mencapai 0,01-0,02 dengan skala usaha antara 9-1.466 ekor.

4.    Upaya peningkatan daya saing usaha sapi potong
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa usaha sapi potong di Indonesia memiliki daya saing. Berdasarkan capaian nilai DRC tersebut, maka sebenarnya Indonesia lebih menguntungkan untuk memproduksi daging sapi di dalam negeri
dibandingkan dengan impor. Sebagai contoh, dengan nilai DRC sebesar 0,85 berarti untuk menghasilkan 100 satuan nilai tambah maka biaya domestik yang dibutuhkan hanya sebesar 85 satuan. Hal ini bermakna, jika impor daging sapi selama ini dapat diproduksi di dalam negeri maka sebenarnya Indonesia dapat menghemat devisa sebesar 15%.
Ditjen PKH (2013) menunjukkan bahwa impor daging sapi di tahun 2012 sekitar 39 ribu ton atau setara dengan US$ 165 juta, apabila daging tersebut dapat diproduksi dalam negeri, maka sebenarnya Indonesia dapat menghemat sebesar US$ 24,75 juta atau setara dengan Rp. 247,5 milyar. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing usaha sapi potong perlu terus dilakukan, melalui:
a)    Peningkatan akses terhadap modal kerja oleh peternak dengan bunga rendah, sehingga peternak dapat meningkatkan skala usaha (umumnya peternak sapi potong berskala kecil).
b)   Peningkatan harga jual ternak di tingkat petani melalui upaya peningkatan posisi tawar atau membentuk kemitraan yang saling menguntungkan dengan pelaku usaha.
c)    Pola pemeliharaan, penggunaan pakan bermutu atau peningkatan kualitas hijauan makanan ternak.

B.  Kelebihan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia
Subsektor peternakan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif. Vercoe et al. (1997) melaporkan bahwa negara-negara di Asia diantaranya Indonesia melakukan impor sapi bakalan karena memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan sapi potong, sebab tersedia pakan dari limbah agroindustri maupun relatif rendahnya upah tenaga kerja. Sementara laporan lain menyebutkan keunggulan komparatif subsektor peternakan diantaranya bersumber dari potensi sumber daya ternak dan kekayaan alam dalam menyediakan pakan (Deblitz et al. 2005; Daryanto 2009).
Berkenaan dengan pakan, penelitian yang ada menunjukkan bahwa pemanfaatan pakan limbah pertanian (padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan ubi jalar) di Indonesia dapat mencukupi (carrying capacity) ternak ruminansia sebanyak 14,7 juta ST (Syamsu et al. 2003). Hal ini juga didukung oleh ketersediaan padang penggembalaan (pastura) yang ada seluas 1,9 juta ha (Nitis 2006). Prawiradiputra et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu rumput padang penggembalaan adalah rumput beha (Brachiaria humidicola) dengan produksi hingga 25 ton/ha. Keunggulan rumput ini antara lain:
1.    Toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah.
2.    Toleran panas dan genangan air.
3.    Beradaptasi pada semua jenis dan pH tanah.

Oleh karena itu, dengan luasan tersebut, maka kapasitas tampung dapat mencapai 4,3 juta ekor (asumsinya kebutuhan hijauan sebanyak 11 ton per ekor per tahun). Sehingga, secara keseluruhan kapasitas tampung rumput pastura dan nonpastura dapat mencapai 19 juta ekor. Artinya, berdasarkan asumsi tersebut, maka potensi pakan yang tersedia masih dapat mencukupi, bahkan melebihi kebutuhan.
Menurut Abdullah (2006) bahwa kontribusi lahan pastura sebagai sumber pakan hijauan di Pulau Jawa adalah sebesar 26,7%, sedangkan lebih dari 70% berasal dari lahan nonpastura yang terdiri atas lahan basah, tegalan, lahan kering, perkebunan dan hutan. Hal ini berarti masih dimungkinkan untuk dilakukan peningkatan populasi sapi, mengingat cukup tersedianya pakan hijauan baik bersumber dari pastura atau
nonpastura.
Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu pembatas dalam mengembangkan usaha sapi potong. Sulitnya akses terhadap pastura, khususnya di
Pulau Jawa, maka pengembangan sapi potong perlu mempertimbangkan:
1.    Wilayah pengembangan memiliki areal pastura yang masih luas (carrying capacity lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah sapi existing).
2.    Menggunakan konsep integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan, antara lain padi, jagung, tebu, karet, kakao atau kebun kelapa sawit.
3.    Peningkatan produksi hijauan melalui perbaikan budidaya hijauan pakan ternak dan introduksi hijauan unggul.
Selain ketersediaan pakan limbah pertanian, sumber keunggulan lain dari usaha sapi potong yaitu:
1.    Bangsa sapi Bali mampu hidup dan berkembang biak pada kondisi iklim panas, tingkat karkas tinggi dan tingkat kematian anak rendah (Ilham & Rusastra 2009; Purwantara et al. 2012).
2.    Sapi persilangan local dengan impor mampu tumbuh dan berkembang baik di Indonesia.
3.    Topografi berbentuk datar hingga tinggi yang sesuai untuk sapi dari daerah subtropis atau persilangannya (Ilham & Rusastra 2009). Keunggulan dari bangsa sapi yang ada tidak akan berarti tanpa disertai tata laksana pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan sapi yang tidak optimal tentu saja akan menghasilkan kinerja produksi yang tidak optimal.
Kebijakan tenaga kerja yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan peternak mengenai budidaya sapi potong, sehingga produktivitas tenaga kerja dapat meningkat pula. Penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan peternak berkorelasi positif dengan adopsi teknologi usaha sapi potong, semakin tinggi pendidikan peternak, maka semakin cepat adopsi teknologi (Suppadit et al. 2006; Hendayana 2012).

C.  Kelemahan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia
Boediyana  (2007) mengungkapkan beberapa permasalahan ataupun kendala  untuk membangun industri peternakan sapi potong yang tangguh di tanah air, antara lain :
1.    Terindikasi bahwa industri hulu yang ada di tanah air sama sekali sangat lemah. Besar dan kecenderungan meningkatnya jumlah sapi bakalan dan juga volume daging sapi yang diimpor merupakan indikasi bahwa sumber sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
2.    Data riil tentang populasi sapi di tanah air belum tersedia secara akurat. Ada keraguan bahwa angka populasi yang ada saat ini lebih tinggi dari realitas. Ini yang sering menyebabkan bias dalam proses pengambilan kebijakan oleh berbagai pihak.
3.    Masih belum adanya persepsi yang sama dari para stakeholder dalam industri sapi potong. Hal ini berimplikasi tidak adanya derap langkah yang sama untuk membangun industri peternakan yang tangguh di tanah air.
4.    Terdapat implikasi kekeliruan menafsirkan otonomi daerah dari sementara pihak yang berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam usaha sapi potong. Otonomi daerah yang seharusnya diartikan juga sebagai instrument untuk menggali potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil  dalam prakteknya justru sebaliknya. Selain daripada itu terdapat beberapa hal lain yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam pengembangan usaha sapi potong.
5.    Semakin melemahnya penegakan hukum, disinyalir telah mendorong keberanian beberapa pengusaha memasukkan daging secara illegal dari negara-negara yang secara perundangan tidak diijinkan karena belum bebas dari PMK(Penyakit Mulut dan Kuku). Hadirnya daging dengan harga yang sangat murah dibawah harga daging dari sapi lokal ataupun sapi hasil penggemukan usaha feedlot dalam waktu cepat atau lambat akan memukul industri sapi potong dalam negeri. Hal ini akan merupakan potensi ancaman hancurnya potensi produksi sapi lokal. Hancurnya usaha peternakan sapi di dalam negeri akan menyebabkan kerugian yang sangat mahal karena membutuhkan waktu dan biaya yang sangat tinggi untuk recovery. Belum terhitung kerugian ekonomi dan sosial bagi sebagian masyarakat khususnya di daerah pedesaan. Seperti dinyatakan oleh OIE (Organization of International des Epizootica) bahwa PMK (Foot and Mouth Desease) merupakan penyakit hewan yang paling menular dan sangat berbahaya serta dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi negara yang mengalami endemi.
6.    Belum maksimalnya usaha untuk mengambil kesempatan mengambil peluang memperoleh nilai tambah dari rantai peternakan sapi potong khususnya dalam memproduksi berbagai produk daging baik untuk keperluan dalam negeri ataupun ekspor.
7.    Jaringan pemasaran produk sapi potong yang belum mantap menyebabkan antara lain belum optimalnya konsumsi daging di masyarakat.
Ditjen PKH  (2012) menyatakan sebanyak 98% peternak kecil melakukan pola pemeliharaan ternak secara tradisional sehingga bobot potong sapi yang dihasilkan 50 kg lebih rendah dibandingkan dengan potensinya. Usaha peternakan di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat, sehingga upaya meningkatan efisiensi usaha sapi potong perlu dilakukan dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan, perbaikan kualitas pakan atau kesehatan hewan.

D.  Peluang Pengembangan Sapi Potong di Indonesia
Ø Peluang (Opportunity)
1.      kemudahan dalam memperoleh pakan konsentrat.
2.      kenaikan permintaan akan daging sapi potong.
3.      kebijakan pemerintah dalam membatasi impor daging sapi potong.
4.      adanya program swasembada daging sapi tahun 2014.
5.      telah meluasnya teknologi IB di masyarakat.

Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:
1.    Budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi.
2.    Memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes.
3.    Produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi.
4.    Dapat membuka lapangan pekerjaan.
                                                                                            
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan
suatu peluang untuk pengembangan usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha
pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan
usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).
Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah. Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan
dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan pemasaran.
Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik. Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi peng penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik.
Indonesia memiliki peluang dan potensi yang besar dalam pengembangan adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik teknik beternak secara sederhana serta ciri masing-masing jenis sapi yang ada di suatu lokasi (Talib dan Siregar 1991). Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005) mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
a)    Perlunya perlindungan dari pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong
ternak, terutama dukungan kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan
terhadap alih fungsi lahan pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak.
b)   Pengembangan teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan memanfaatkan limbah industri dan perkebunan (Gordeyase et al. 2006; Utomo dan Widjaja 2006).
c)    Untuk menjaga sumber plasma nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri.
Menurut Bahri et al. (2004), paling tidak ada tiga pemicu timbulnya pengurasan populasi sapi local sebagai dampak dari tingginya permintaan daging sapi terutama pada periode 1997−1998, serta tingginya impor daging dan jerohan serta sapi bakalan, yaitu:
1.      Produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan.
2.      Permintaan meningkat, sedangkan produksi dalam negeri menurun.
3.      Permintaan tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.
Untuk meningkatkan peran sapi potong sebagai sumber pemasok daging dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi dilakukan dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up. Peningkatan minat dan motivasi peternak sapi potong untuk mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian insentif dalam berproduksi.

E.  Sumber Kekuatan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia
Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern (Mubyarto dalam Anggraini 2003). Usaha peternakan memerlukan modal yang besar, terutama untuk pengadaan pakan dan bibit. Biaya yang besar ini sulit dipenuhi oleh peternak pada umumnya yang memiliki keterbatasan modal (Hadi dan Ilham 2000).
Untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan usaha, para peternak bergabung membentuk kelompok yang biasa disebut kelompok tani ternak. Menurut surat keputusan Menteri Pertanian No. 93/KPTS/OT.210/2/97 kelompok tani adalah kumpulan petani- peternak yang tumbuh berdasarkan keakraban, keserasian, kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraannya. Keberadaan pengurus dan anggota yang saling berinteraksi akan mendorong terbentuknya suatu sistem yang dinamis. Melalui pertemuan anggota kelompok dapat diperoleh berbagai informasi yang mengarah pada usaha peningkatan atau pengembangan usahatani ternak sapi potong (Soeharsono 2003). Kemudian Yusuf (1989) menambahkan bahwa interaksi yang berkesinambungan di antara anggota kelompok akan membentuk pola interaksi, baik dalam bentuk peraturan, larangan atau kewajiban, sehingga anggota selanjutnya akan bertingkah laku dan bersikap sebagaimana pola yang sudah terbentuk.
Melalui proses identifikasi analisis faktor internal dan eksternal maka akan diperoleh kekuatan, kelemahan, serta peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Perumusan alternatif strategi pengembangan dipertimbangkan berdasarkan identifikasi faktor internal dan eksternal, serta berpengaruh dan homogen yang berada pada lokasi penelitian. Kombinasi dan perpaduan antara faktor internal dan eksternal tersebut akan dapat diperoleh beberapa alternative strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong Secara rinci, ada empat tipe alternative strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan usaha ternak sapi potong  yaitu:

1.    Strategi SO (Strenght-Opportunity)
Strategi SO atau strategi kekuatan peluang merupakan strategi yang menggunakan kekuatan internal untuk dapat memanfaatkan peluang eksternal. Alternatif strategi SO yang dapat dirumuskan mengoptimalkan dan mengembangkan
kemampuan internal peternak serta memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia untuk meningkatkan skala usaha ternak sapi potong menjadi lebih maju; bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk mengefektifkan jaringan pemasaran guna memanfaatkan peluang permintaan pasar yang relatif belum terpenuhi; memanfaatkan secara optimal pakan limbah pertanian yang jumlahnya melimpah.
Hasil strategi SO (strenghtopportunity) pengembangan usaha ternak sapi potong adalah: mengoptimalkan pengalaman beternak dan motivasi agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menjalin kerjasama antara kelompok tani ternak sebagai wakil dari peternak dengan lembaga permodalan/pemerintah, memanfaatkan pakan limbah pertanian yang melimpah (Djaafar, 2007; Kurniawan, 2012).

2.    Strategi WO (Weakness-Opportunity)
Strategi WO atau strategi kelemahan peluang merupakan strategi untuk dapat
meminimalkan kelemahan yang ada untuk dapat memanfaatkan suatu peluang eksternal. Alternatif strategi yang dapat dirumuskan meliputi: memberikan program
pendampingan dan penyuluhan disertai dengan demonstrasi sehingga dapat meningkatkan kemampuan peternak; pengenalan mengenai teknologi pengolahan pakan berbasis limbah pertanian dan bibit ternak sapi unggul yang disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat; optimalisasi program swasembada daging sapi yang dicanangkan oleh pemerintah guna menambah skala kepemilikan sapi potong
dan meningkatkan pengetahuan peternak sapi potong mengenai harga jual dan informasi pasar.
Hasil strategi WO (weakness-threat) pengembangan usaha ternak sapi potong adalah penyuluhan yang terarah dan terpadu, research and development pemanfaatan limbah pertanian, peningkatan produksi serta distribusi akseptor IB dan semen beku, meningkatkan pengetahuan peternak mengenai pemasaran dan informasi harga untuk mengurangi pengaruh blantik dalam penentuan harga ternak sapi potong (Kurniawan, 2012; Rusono, 2011).

3.    Strategi ST (Strenght-Threat)
Strategi ST atau strategi kekuatan ancaman merupakan strategi untuk dapat mengoptimalkan kekuatan internal yang dimiliki dalam menghindari ancaman. Alternatif strategi ST yang dapat dirumuskan antara lain: mengembangkan keterampilan sumber daya manusia dan meningkatkan pola efisiensi agar dapat menguasai dan meningkatkan produktivitas di bidang usaha ternak; menjalin usaha kemitraan bersama pemerintah dan pihak ketiga dengan memanfaatkan interaksi masyarakat pedesaan yang bersifat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2012) dan Putra (2011), strategi ST (Strenght-Threat)
pengembangan usaha ternak sapi potong yang dihasilkan adalah: meningkatkan sumber daya manusia dengan meningkatkan pengetahuan peternak, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan produktivitas serta menjaga kepercayaan konsumen dengan kualitas produk local melalui manajemen produksi yangbaik.



4.    Strategi WT (Weakness-Threat)
Strategi WT atau strategi kelemahan ancaman merupakan strategi defensif untuk meminimalkan kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Alternatif strategi yang dapat dirumuskan antara lain adalah: memperkuat kelembagaan peternak sehingga peternak memiliki daya tawar yang kuat; mempermudah proses penyediaan bibit melalui subsidi bunga (Kredit Usaha Pembibitan Sapi); pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui VBC (Village Breding Center). Seperti yang telah dinyatakan oleh Putra (2011) dan Djaafar (2007), hasil strategi WT (weakness-threat) pengembangan usaha ternak sapi potong adalah: meningkatkan kualitas sumber daya peternak secara teknis, moral dan spiritual melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan produksi dan daya saing produk, menggalang kemitraan dengan pihak swasta, dan melakukan usaha pembibitan ternak.
Alternatif strategi utama yang sangat dibutuhkan dalam mengembangkan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Mojolaban antara lain: mengoptimalkan dan mengembangkan kemampuan internal peternak serta memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia untuk meningkatkan skala usaha ternak sapi potong menjadi lebih maju; pengenalan mengenai teknologi pengolahan pakan dan bibit ternak sapi unggul yang disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat; menjalin usaha kemitraan bersama pemerintah dan pihak ketiga dengan memanfaatkan interaksi masyarakat
pedesaan yang bersifat kekeluargaan dan kegotong royongan; memperkuat kelembagaan peternak sehingga peternak memiliki daya tawar yang kuat.

F.   Manajemen Pemasaran Pengembangan Sapi Potong Indonesia
Sistem pemasaran ternak sapi (hidup atau daging) di Indonesia pada umumnya sistem jual beli atau penetapan harga masih dengan metoda tradisional. Di pasar tradisional sistem jual beli ternak atau penetapan harga masih didominasi dan berdasarkan kepercayaan diantara pihak-pihak tertentu yaitu para pedagang pengumpul (tengkulak atau blantik). Dalam menentukan bobot ternak dilakukan dengan menaksir berdasarkan pengalaman peternak dan blantik, bukan berdasarkan bobot ternak atau kriteria tertentu. Dominasi blantik dalam pemasaran ternak sangat nyata baik di pasar-pasar desa maupun kecamatan, bahkan sampai ke kabupaten atau kota, dimana dominasi margin keuntungan pada umumnya berada pada pedagang, baik pengumpul atau blantik maupun pedagang besar di sentra konsumen, sedangkan peternak sebagai produsen ternak hanya mendapatkan margin keuntungan terendah. Di pasar tradisional, selain sistem transaksi yang belum transparan, bangunan fisik pasar ternak tempat transaksi berlangsung,masih sangat sederhana dengan kondisi fasilitas yang terbatas dan belum tertata dengan baik, belum menggunakan kriteria berat badan maupun menetapkan grade atau klas mutu dan menggunakan alat ukur (timbangan) sebagai dasar penentuan harga.
Pemasaran sapi potong dari hasil penggemukan yang dijual bisa dalam bentuk hidup maupun produk daging . Pasar sapi potong secara umum dibagi 2 yaitu pasar tradisional dan pasar tertentu seperti pasar swalayan maupun restoran, rumah sakit dan hotel. Di pasar tradisional, seperti biasa terjadi transaksi pedagang pengumpul di desa dengan para peternak. Kemudian pedagang pengumpul di desa menjual ternaknya ke pedagang antar kota atau pedagang pengumpul di kabupaten bahkan ke pedagang besar di provinsi atau didaerah konsumen yang selanjutnya akan menjual ternaknya ke pedagang pemotong atau jagal melalui Rumah Potong Hewan (RPH) untuk diperjualbelikan oleh para pengecer di pasar-pasar tradisional dalam bentuk daging kepada konsumen.
Pemasaran sapi potong telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan pemasaran diatur pasal 36. Selain itu, untuk menjaga stabilitas harga daging sapi diatur dalam Keputusan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 699/M-Dag/Kep/7/2013 tentang Stabilisasi harga Daging Sapi. Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya permintaan pasar akan daging sapi masih terus mengalami peningkatan. Selain di pasar domestik, permintaan daging sapi di pasar luar negeri juga cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor daging sapi ke Malaysia.Konsumsi daging sapi di sana cenderung mengalami peningkatan karena bergesernya tradisi mengkonsumsi daging kambing ke daging sapi atu kerbau pada saat perhelatan keluarga dan perayaan hari besar lainnya.
            Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 jiwa, membutuhkan pasokan daging sapi dalam jumlah cukup besar. Sejauh ini peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri.Timpangnya antara pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi.Pemerintah (Kementrian Pertanian) mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju penngkatan populasi sapi potong. Pada gilirannya, pada kondisi seperti ini memaksa indonesia untuk selalu melakukan impor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementan 2010, konsumsi daging sapi nasional  sebesar 1,27 kg per kapita per tahun, Ditjen Peternakan Kementan sebesar 1,7 kg per kapita per tahun, Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) 2,1 kg per kapita per tahun dan  Asosiasi Feedloter Indonesia (Apfindo) 2,09 kg per kapita per tahun.Selanjutnya Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kapita/tahun.Tingginya tingkat konsumsi sapi di indonesia disebabkan oleh 1) jumlah penduduk penduduk selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49 % per tahun; 2) konsumsi daging per kapita mengalami peningkatan dari waktu ke waktu sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.




            Untuk melihat kebutuhan dan proyeksi kebutuhan daging sapi secara Nasional dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Proyeksi Kebutuhan Daging sapi Tahun 2000,2010 dan Tahun 2020.
No
Tahun
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Konsumsi Daging kg/kapita/tahun
Produksi Daging  (000 ton)/tahun
Pemotongan (ekor/Tahun).
Prosentase kenaikan
(%)
1.
2000
206 Juta
1,72 kg
350,7
1,75 juta
2.
2010
242,4 juta
2,72 kg
654,4
3,3 juta
88,6
3.
2020
281 juta
3,72 kg
1,04 juta
5,2 juta
197
  Sumber data  Susenas (2002)
            Dari data tersebut diatas diperkirakan populasi sapi potong pada tahun 2009 hanya mampu memasok 60 % dari total kebutuhan daging dalam negeri. Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan karena suatu saat akan terjadi kondisi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada import. Dengan demikian, ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal. Namun disisi lain dengan adanya kebutuhan akan daging yang semakin meningkat, membuka peluang usaha dalam Agribisnis sapi potong.










BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.       Potensi pengembangan sapi potong di Indonesia sangat menjanjikan, dengan keadaan tanah yang subur sehingga pakan berupa hijauan yang merupakan kebutuhan sapi juga lebih mudah didapatkan.
2.      Kelebihan pengembangan sapi potong Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan sapi potong.
3.      Kelemahan pengembangan sapi potong di Indonesia adalah pemeliharaan ternak secara tradisional.
4.      Indonesia memiliki peluang dan potensi yang besar dalam pengembangan adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik teknik beternak.
5.      Strategi ST atau strategi kekuatanancaman merupakan strategi untuk dapat mengoptimalkan kekuatan internal yang dimiliki dalam menghindari ancaman pengembangan sapi potong.

B. Saran
Pengembangan sapi potong di Indonesia perlu dikembangkan dengan teknologi yang moderen. Hal ini bertujuan agar peternak mampu bersaing dalam jaringan pemasaran dan menghasilkan swasembada daging yang ada di Indonesia.


1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City - MapYRO
    View the map to see 안성 출장마사지 Borgata Hotel 경기도 출장안마 Casino 태백 출장안마 & Spa, 제주도 출장안마 Atlantic City (IATA), Atlantic City (NJ), United States. 여수 출장샵

    BalasHapus