I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tantangan bangsa Indonesia dimasa depan
begitu berat. Aspek pembangunan tidak hanya bertitik berat pada bidang
pertanian saja. Sebenarnya yang kita bangun adalah bangsa. Akan tetapi karena
sebagian besar penduduk berada disekitar pertanian maka pertanian manjadi alat
yang efektif untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Indonesia sebagai
negara agraris, yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani. Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia juga bisa dikatakan masih
rendah. Salah satu faktor yang diduga kuat menjadi penyebab rendahnya tinggkat
kecerdasan bangsa ini adalah kurangnya konsumsi protein hewani. Di dalam
protein hewani terdapat asam-asam amino esensial yang berperan penting dalam perkembangan
kecerdasan seseorang. Keberadaanya juga tidak dapat digantikan oleh zat-zat
lainnya.
Hasil peternakan seperti susu, telur dan
dagingpun masih diimpor dari luar negeri. Nilai impor komoditas tersebut
semakin bertambah dari tahun ketahun. Peningkatan permintaan daging sapi
berarti merupakan prospek yang cerah untuk usaha peternakan dimasa-masa yang
akan datang. Feeding, breeding dan manajemen yang baik adalah faktor utama demi
kemajuan industri peternakan, dan faktor pakan yang memegang peranan paling
penting, disamping genetik. Oleh karena itu bibit sapi yang baik harus
diimbangi dengan pemberian pakan yang baik dan cukup memenuhi syarat.
Usaha ternak sapi potong dewasa ini
mempunyai kecenderungan semakin berkembang, perkembangan usaha sapi potong ditandai
dengan semakin banyaknya masyarakat,
wiraswasta dan Pemerintah Daerah yang mengusahakan
peternakan sapi potong. Perkembangan usaha yang pesat ini disebabkan prospek usaha ternak sapi potong cukup
menguntungkan terbukti dari kebutuhan akan
konsumsi daging sapi setiap tahun selalu meningkat.
Ternak sapi potong sebagai salah satu
sumber protein berupa daging, produktivitasnya masih sangat memprihatinkan
karena volumenya masih jauh dari target yang diperlukan konsumen. Permasalahan
ini disebabkan oleh produksi daging masih rendah. Beberapa faktor yang
menyebabkan volume produksi daging masih rendah antara lain populasi dan
produksi rendah.
1.1.2. Tujuan dan
Manfaat
Tujuan praktikum manajemen penggemukan
sapi potong di Desa Lambusa, Kecamatan Konda adalah untuk mengetahui manajemen
pemeliharaan sapi potong disalah satu peternaka bapak Suli Santo di Kabupaten
Konawe Selatan.
Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan
praktikum ini adalah mahasiswa dapat berpartisipasi langsung dengan salah satu
peternak dan mampu mengetahui manajemen pemeliharaan sapi potong di Kabupaten
Konawe Selata.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sapi Bali
Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi
asli Indonesia yang diduga sebagai
hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga
disebut sapi bali. Sapi bali memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang
bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah/kasar,
dan lain-lain. Di samping itu, tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi dibandingan dengan
jenis sapi lain, yaitu mencapai 83% (Darmadja,
1980), tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Menurut Guntoro (2002) di daerah baru (daerah transmigran), sapi
bali merupakan ternak “primadona” bagi petani karena merupakan tenaga kerja
yang tangguh, di samping memiliki adaptasi
yang bagus terhadap lingkungan dan reproduksi yang tinggi. Sapi bali memiliki
bentuk badan yang kompak dan persentase karkas yang tinggi (56%) sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai sapi
potong.
Menurut Guntoro (2002) sapi bali juga
memiliki beberapa kelemahan, antara
lain: amat peka terhadap beberapa jenis penyakit yang tidak dijumpai pada
ternak sapi lain, misalnya penyakit Jembrana dan Baliziekte
yang hanya menyerang sapi bali. Sapi bali
juga peka terhadap penyakit Coryza yang dapat ditularkan melalui domba. Di samping itu, interval beranak
pada sapi bali relative panjang (340–550
hari), lebih panjang daripada sapi-sapi Eropa atau Amerika. Dengan pola pemeliharaan tradisional, pertumbuhan sapi bali
cukup lambat, yakni rata-rata hanya mencapai
200–300 gram per ekor per hari (Guntoro, 2002).
Menurut Guntoro (2002), sapi bali
sebagai salah satu bangsa sapi memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda dengan bangsa sapi lainnya.
Sapi bali memiliki warna dan bentuk tubuh
persis seperti banteng liar. Sapi bali jantan dan betina memiliki warna kaki putih dan memiliki “telau”,
yakni bulu putih pada bagian pantatnya dan
terdapat “garis belut” (bulu hitam) di sepanjang punggungnya. Sapi bali tidak memiliki punuk seperti halnya banteng, bentuk
badannya kompak, dan dadanya dalam.
Dibandingkan dengan sapi-sapi lain, sapi bali lebih agresif (galak) terutama sapi bali jantan. Di samping ciri-ciri umum
tersebut di atas, sapi bali jantan dan betina
juga memiliki beberapa ciri yang spesifik (Guntoro, 2002).
2.2.
Manajemen Pemberian Pakan
Pakan ternak sapi potong yang cukup
nutrien merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan,
pertumbuhan dan reproduksi ternak. Pemberian pakan yang baik dan memenuhi
beberapa kebutuhan sebagai berikut :
1. Kebutuhan hidup pokok, yaitu kebutuhan pakan yang mutlak
dibutuhkan dalam jumlah minimal. Meskipun ternak dalam keadaan hidup
tidak mengalami pertumbuhan dan kegiatan. Pada
hakekatnya kebutuhan hidup pokok adalah
kebutuhan sejumlah minimal zat pakan untuk menjaga keseimbangan dan mempertahankan kondisi tubuh ternak.
Kebutuhan tersebut digunakan untuk bernapas,
dan pencernaan pakan.
2. Kebutuhan pertumbuhan, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan
ternak sapi untuk proses pembentukan jaringan tubuh dan menambah berat badan.
3. Kebutuhan untuk reproduksi, yaitu kebutuhan pakan yang
diperlukan ternak sapi untuk proses reproduksi, misalnya kebuntingan. Untuk
kebutuhan nutrien sapi potong dalam praktek penyusunan diperlukan pedoman standart berdasarkan berat
tubuh dan pertambahan berat tubuh (Murtidjo, 2001).
Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi.
Pada umumnya sapi membutuhkan pakan hijuan dan pakan tambahan seperti
konsentrat untuk tetap bisa memacu pertumbuhan sapi. Kebanyakan para peternak
dalam mendapatkan hijauan segar mau tak mau harus mengeluarkan biaya atau tenaga
untuk pengadaan pakan, terutama untuk pembelian hijauan dan transportasi
(Sarwono dan Arianto, 2007).
Untuk sapi yang sehat pada umumnya
memerlukan jumlah pakan yang cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi
pakan maupun nutrisi yang dikandungnya. Nutrisi di dalam pakan ternak merupakan
unsur penting untuk menjamin kesehatan sapi, pertumbuhan badan yang optimal,
dan kesuburan dalam reproduksi. (Siregar, 2003).
2.3.
Manajemen Perkandangan
Perencanaan pembangunan kandang juga
perlu memperhatikan faktor letak dan iklim
setempat, bahan bangunan dan konstruksi kandang. Luasan bangunan dan penataan fasilitas penunjang dalam areal
kandang, seperti kantor, ruang isolasi, dan
gudang harus diperhitungkan dengan baik (Sarwono dan Arianto, 2007).
Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi
menjadi tiga, yaitu intensif, ekstensif, dan mixed
farming system (sistem pertanian campuran). Pemeliharaan secara intensif
dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan secara terus- menerus dan (b) sapi di kandangkan pada saat malam hari,
kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem
pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus- menerus dengan
sistem pemberian pakan secara cut and curry.
Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif
sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan
pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan
sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi,
masalah penyakit dan limbah peternakan (Susilorini, Sawitri, Muharlien, 2008).
Kandang merupakan tempat tinggal ternak
sepanjang waktu, sehingga pembangunan kandang sebagai salah satu faktor
lingkungan hidup ternak, harus bisa menjamin hidup yang sehat dan nyaman
(Sugeng, 2003). Dinyatakan oleh Siregar (2003) bahwa dengan kandang, pengamanan
terhadap pencuri sapi akan lebih terjaga. Kandang yang dibangun hendaknya dapat
menunjang peternak, baik dari segi ekonomis maupun segi kemudahan dalam
penanganan sapi. Sehingga diharapkan dengan adanya bangunan kandang ini sapi tidak berkeliaran disembarang tempat dan
kotorannya pun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin (Sugeng, 2003).
Pengaturan ventilasi sangat penting
untuk dicermati. Dinding kandang dapat
dibuka dan ditutup maka sebaiknya pada siang hari dibuka dan pada malam hari
ditutup. Kandang di dataran rendah dibangun lebih tinggi dibandingkan dengan kandang
di dataran tinggi atau pegunungan. Bangunan kandang yang dibuat tinggi akan
berefek pada lancarnya sirkulasi udara di dalamnya. Di daerah dataran tinggi,
bangunan kandang dibuat lebih tertutup, tujuannya agar suhu di dalam kandang
lebih stabil dan hangat (Sarwono dan Arianto, 2007 ).
2.4.
Pengendalian Penyakit
Penyakit merupakan ancaman yang perlu
diwaspadai peternak, walaupun serangan penyakit tidak langsung mematikan ternak,
tetapi dapat menimbulkan masalah kesehatan
yang berkepanjangan, menghambat pertumbuhan
dan mengurangi pendapatan (Sarwono dan Arianto, 2007).
Menurut Sugeng (2003) berbagai jenis
penyakit sapi sering berjangkit di Indonesia, baik yang menular ataupun tidak menular.
Penyakit menular yang berjangkit pada umumnya
menimbulkan kerugian besar bagi peternak. Tindakan pencegahan untuk menjaga
kesehatan sapi antara lain: menjaga kebersihan
kandang dan peralatannya, termasuk memandikan sapi. Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi yang sehat dan
segera dilakukan pengobatan. Diusahakan lantai
kandang selalu kering, agar kotoran tidak banyak
yang menumpuk di kandang. Untuk menjaga kesehatan sapi maka secara teratur dilaksanakan vaksinasi (Djarijah, 1996).
2.5.
Penanganan Limbah
Limbah ternak adalah sisa buangan dari
suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong
hewan, pengolahan produk ternak dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan
limbah cair seperti feses, urine, dan sisa
pakan,(Sihombing, 2000). Limbah ternak yang berupa kotoran ternak, baik padat
(feses) maupun cair (air kencing, air bekas
mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan
yang tercecer merupakan sumber pencemaran
lingkungan paling dominan di area peternakan. Limbah ternak dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan bau yang
menyengat, sehingga perlu penanganan khusus
agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono
dan Arianto, 2007).
Menurut Abidin (2002) penanganan limbah
perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya, bahkan bisa diupayakan untuk menghasilkan
penghasilan tambahan seperti mengolah kotoran menjadi kompos. Total limbah yang
dihasilkan peternakan tergantung dari jenis ternak, besar usaha, tipe usaha dan
lantai kandang. Manure yang terdiri dari feses dan urine merupakan limbah
ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia
seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang
dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kilogram limbah padat atau feses, dan
pada sapi potong setiap pertambahan bobot badan 1 kilogram menghasilkan 25
kilogram feses (Sihombing, 2000).
III.
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.
Waktu dan
Tempat
Praktikum manajemen penggemukan dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2016, Pukul 08.00
WITA - Selesai, bertempat di
Desa Lambusa, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan.
3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1.
Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum manajemen
pemeliharaan sapi bali yaitu dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat dan kegunaan pada
praktikum manajemen pemeliharaan sapi bali
No
|
Nama Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Kamera Hp
|
Untuk dokumentasi
|
2.
|
Alat Tulis
|
Untuk Menulis hasil wawancara
|
3.
|
Mobil
|
Untuk Transportasi
|
|
|
|
3.2.2.
Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum manajemen pemeliharaan sapi bali
yaitu dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 2. Bahan dan kegunaan pada praktikum manajemen pemeliharaan sapi bali
No
|
Nama Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Sapi bali
Peternak
|
Sebagai bahan pengamatan
Sebagai
responden
|
|
|
|
3.3.
Prosedur Kegiatan Praktikum
Prosedur kerja
praktikum manajemen penggemukan sapi potong di Desa Lambusa, Kecamatan Konda,
Kabupaten Konawe Selatan adalah sebagai berikut:
1. Observasi
kegiatan praktikum
Observasi kegiatan
praktikum secara langsung dilakukan
dengan mengikuti kegiatan dilapangan, dan mendengarkan arahan dari asisten
sebelum melakukan wawancara.
2. Diskusi
dan wawancara
Metode yang digunakan
dalam kegiatan praktikum ini adalah sebagai berikut:
a. Melakukan
tanya jawab dengan salah satu peternak atau pihak yang terkait menyangkut
hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan pemeliharaan sapi potong di kecamatan
Konda, Kabupaten Konawe Selatan.
b. Identifikasi
masalah yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan sapi potong, kemudian
mencatat hasil wawancara yang didiskusikan dengan peternaknya.
3. Pengamatan
dan pengumpulan data
Data pengamatan yang
dikumpulkan melalui kegiatan wawancara dilakukan secara langsung selama
berlangsungnya kegiatan praktikum. Tujuan kegiatan wawancara ini adalah untuk
melengkapi data yang sudah diperoleh yang akan dipergunakan sebagai
perlengkapan atau lampiran dalam penyusunan laporan praktikum manajemen
penggemukan
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Wawancara
1.
Nama Responden : Suli Santo
·
Umur : 50 tahun
·
Pekerjaan : Petani
·
Lama
beternak : 10 tahun
·
Jumlah
ternak : 5 ekor
·
Jantan : 5 ekor
·
Betina : -
2.
Manajemen pemberian pakan :
·
Pemberian
pakan : dilakukan 4 kali dalam sehari
·
Pemberian
air minum : secara adlibitum
menggunakan air kedelai
·
Jenis
pakan yang di berikan : Rumput alam
3. Manajemen
perkandangan
:
1.
Ukuran
Kandang
-
Panjang
kandang : 4 meter
-
Leber
kandang : 2 meter
-
Tinggi
kandang : 3 meter
2.
Bahan
Kandang
-
Tiang
kandang :
Terbuat dari kayu
-
Atap
kandang : Seng
-
Lantai
kandang : semen
3.
Pengolahan
limbah
Pengolahan limbah dalam peternakan ini yaitu feses di
kumpulkan dalam satu tempat kemudian di keringkan setelah di keringkan di bakar
kemudian di jadikan pupuk organik.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Manajemen
Pemberian Pakan
Hasil wawancara dengan bapak Suli Santo
mengenai manajemen pemberian pakan pada ternakanya diberikan 4 kali dalam
sehari. Pakan yang diberikan adalah pakan yang diperoleh dari hijauan segar
atau rumput alam. Manajemen pemberian pakan merupakan suatu alternative dalam
memperoleh penunjangan kebutuhan hidup ternak. Dalam usaha penggemukan sapi
potong, pemberian pakan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
produksi. Kebutuhan hidup pokok sangat tergantung dari bobot badan ternak,
yakni semakin berat bobot badan ternak maka semakin tinggi jumlah kebutuhan
pakannya, sedangkan kebutuhan produksi sangat tergantung dari pertambahan bobot
badan yang dicapai, yaitu makin tinggi pertambahan bobot badan yang dicapai
maka semakin banyak pula jumlah kebutuhan pakannya. Paka hijauan yang berupa
rumput alam yang diberikan pada ternakanya diperoleh dari sawah dan
diperkebunannya sendiri.
Menurut Siregar (2003), sapi yang akan
digemukan dan memperoleh ransum yang terdiri dari hijauan dan kosentrat harus
diatur pemberiannya agar tercapai hasil yang memuaskan. Pemberian hijauan pada
sapi yand digemukan sebaiknya dihindari pemberian yang sekaligus dan dalam
jumlah yang banyak. Pemberian yang demikian akan berakibat pada banyaknya
hijauan yang terbuang yang tidak dimakan sapi, sehingga tidak efisien. Menurut
hasil penelitian yang sudah dilakukan bahwa frekuensi pemberian pakan lebih
dari dua kali sehari hasilnya lebih baik daripada yang dilakukan dua atau tiga
kali sehari. Frekuensi pemberian pakan semakin sering maka semakin baik, namun
dalam jumlah yang sama.
Teknik pemberian pakan yang baik untuk
mencapai pertambahan bobot badan yang baik tinggi pada penggemukan sapi potong
adalah dengan mengatur jarak waktu antara pemberian kosentrat dan hijauan.
Hijauan diberikan sekitar dua jam setelah pemberian kosentrat pada pagi hari
dan dilakukan cecara bertahap minimal empat kali dalam sehari semalam. Frekuensi
pemberian hijauan yang lebih sering dilakukan dapat meningkatkan kemempuan sapi
untuk mengkonsumsi ransum dan juga meningkatkan kecernaan bahan kering hijauan
itu sendiri (Cullough, 1973).
Pemberian air minum dilakukan secara
adlibitum, dimana ketersediaannya tidak pernah kurang bagi ternak atau secara
terus menerus. Ari minum yang diberikan berupa lambah cair dari bungkil kedelai
yang didapatkan dari hasil pembuangan
pabrik pembuatan tempe di
sekitara kampong halamannya. Ari dalam bag dikontrol setiap saat sehingga air
terisi penuh. Pengontrolan dan pembersihan tempat air minum dilakukan dan
kebutuhan air minum untuk ternak sapi didasarkan pada kebutuhan sapi itu
sendiri. Air minum sebaiknya disediakan sesaat sebelum makan untuk menghindari
terjadinya kembung perut. Air minum diberikan secara adlibitum, dimana
ketersediaannya tidak pernah kurang bagi ternak. Menrut Akoso (1996) sapi
dewasa rata-rata membutuhkan air minum 20-30 liter setiap hari.
4.2.2. Manajemen
Perkandangan
Hasil pengamatan dan wawancara dengan responden terhadap
manajemen perkandangan ternak sapi di Desa Lambusa dipelihara secara intensif. Pemeliharaan
secara intensif yaitu ternak dipelihara secara terus menerus di dalam kandang
sampai saat dipanen sehingga kandang mutlak harus ada. Seluruh kebutuhan sapi
disuplai oleh peternak, termasuk pakan dan minum. Aktivitas lain seperti
memandikan sapi juga dilakukan serta sanitasi dalam kandang.
Kandang merupakan salah satu unsur penting dalam
suatu usaha peternakan, terutama dalam penggemukan ternak potong. Bangunan
kandang yang baik harus bisa memberikan jaminan hidup yang sehat dan nyaman.
Bangunan kandang diupayakan pertama-tama untuk melindungi sapi terhadap
gangguan dari luar yang merugikan, baik dari sengatan matahari, kedinginan,
kehujanan dan tiupan angin kencang. Selain itu, kandang juga harus bisa
menunjang peternak dalam melakukan kegiatannya, baik dari segi ekonomi maupun
segi kemudahan dalam pelayanan. Kandang berfungsi sebagai lokasi tempat
pemberian pakan dan minum. Dengan adanya kandang, diharapkan sapi tidak
berkeliaran di sembarang tempat, mudah dalam pemberian pakan dan kotorannya pun
bisa dimanfaatkan seefisien mungkin (Anonimc, 2012).
Konstruksi kandang harus kuat serta terbuat dari bahan- yang
ekonomis dan mudah diperoleh. Di dalam kandang harus ada drainase dan saluran
pembuangan Iimbah yang mudah dibersihkan. Tiang kandang sebaiknya dibuat dari
kayu berbentuk bulat agar Iebih tahan lama dibandingkan dengan kayu berbentuk
kotak. Selain itu, kayu bulat tidak akan melukai tubuh sapi, berbeda dengan
kayu kotak yang memiliki sudut tajam (Wello, 2011).
Kandang di daerah yang mempunyai suhu lingkungan agak panas
(dataran rendah dan pantai) hendaknya dibangun lebih tinggi dari pada kandang
yang ada di daerah pegunungan. Hal ini dimaksudkan agar udara panas di dalam
ruangan kandang lebih bebas bergerak atau berganti sehingga dapat diperoleh
ruang kandang cukup sejuk (Wello, 2011).
Kerangka kandang terbuat dari bahan, kayu dan bambu
disesuaikan dengan tujuan dan kondisi yang ada. Pemilihan bahan kandang
hendaknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan tujuan usaha (Wello,
2011).
Lantai kandang sebagai batas bangunan kandang bagian bawah,
atau tempat berpijak dan berbaring bagi sapi pada sepanjang waktu, maka
pembuatan lantai kandang harus benar-benar memenuhi syarat : rata, tidak licin,
tidak mudah menjadi lembab, tahan injakan, atau awet (Wello, 2011).
Bagian kandang yang juga harus diperhatikan adalah tempat
pakan dan air minum. Tempat/bak pakan dapat dibuat dengan ukuran panjang 60 cm,
lebar 50 cm dan dalamnya 30 cm untuk setiap ekor dewasa. Tempat pakan
diperlukan untuk efisiensi dan efektifitas pakan yang diberikan. Biaya pakan
akan membengkak jika pakan yang diberikan tidak habis dimakan ternak tetapi
hanya berserakan didalam maupun luar kandang.
Tempat air minum diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum
ternak dan menghindari tumpahnya air jedalam kandang. Syarat tempat pakan dan
air minum adalah:
a) Mudah dijangkau mulut ternak tetapi
tidak bisa terinjak.
b) Mampu menampung jumlah pakan/air yang diperlukan ternak
sampai pemberian pakan/air berikutnya.
c) Tidak mudah digerak-gerakkan ternak
sehingga pakan/air minum yang ada tidak tumpah. Khusus tempat air minum, tidak
boleh bocor sehingga mengairi kandang. (Anonimc,
2012). Menurut Purnomoadi, (2003) ada 2 model kandang sapi,
yakni kandang bebas (loose housing) dan kandang konvensional
(conventional/stanchion barn).
4.2.3. Manajemen
Pengolahan Limbah
Limbah ternak merupakan sisa hasil
pencernaan dan metabolisme pakan yang berupa limbah padat, feses dan limbah
cairnya berupa urin. Limbah padat yang berupa feses diolah menjadi pupuk
organic yang kemudian digunaka sendiri untuk pemupukan perkebunan dan untuk
sementar ini belum dipasarkan. Sedangan untuk limbah cairnya yang berupa urin
belum diolah dan hanya di alirkan atau dibiarkan terbuang bercampur dengan
fesesnya.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (1994), limbah adalah sisa proses produksi atau
air buangan pabrik. Limbah ternak menurut Chalik (2009) adalah sisa buangan
dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah
potong hewan, pengolahan produksi ternak dan lain sebagainya. Limbah tersebut
meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa pakan darah,
bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, ternak mati dan lain-lain. Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Total
limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar usaha,
tipe usaha dan lantai kandang. Limbah
ternak dalam jumlah yang besar akan menimbulkan polusi jika tidak di kelola
dengan baik.
Pengolahan limbah
ternak merupakan salah satu upaya yang memberikan banyak manfaat. Disisi lain,
pengolahan memberikan keuntungan finansial karena pengolahannya menghasilkan
produk yang berdaya jual. Limbah ternak memiliki berbagai manfaat seperti untuk
bahan makanan ternak, pupuk organik, sumber enegi dan media bagi tujuan
lainnya. Pengolahan limbah ternak tergantung pada jenis/spesies ternak, jumlah
ternak, tata laksana pemeliharaan, areal yang tersedia dan target penggunaan
limbah. Untuk penggunaan limbah padat dapat diolah menjadi pupuk kandang, pupuk
hijau, bokashi dan kompos. Sedangkan pengolahan limbah cair dapat diolah secara
fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik disebut juga pengolahan
primer (primer treatment). Proses ini merupaka proses termurah dan termudah,
karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan
untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Pengolahan secara
kimia disebut juga pengolahan sekunder (secedari treatment) yang biasanya lebih
mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya
digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah
cair menjadi padat. Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari
pengolahan sekunder bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair.
Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja dan tidak mengandung bahan
kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan untuk mengairi areal pertanian
atau didahului dengan pengolahan secara fisik.
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu
kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan
produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu,
kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000)
Limbah kandang yang berupa kotoran ternak, baik
padat (feses) maupun cair (air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci
kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling dominan di area
peternakan. Limbah kandang dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan bau yang
menyengat, sehingga perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan (Sarwono dan Arianto, 2002)
Menurut Abidin (2002) penanganan limbah perlu
direncanakan dengan sebaik-baiknya, bahkan bisa diupayakan untuk menghasilkan
penghasilan tambahan seperti mengolah kotoran menjadi kompos. Kompos merupakan
hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahanbahan organik seperti tanaman,
hewan, atau limbah organik lainnya. Kompos yang digunakan sebagai pupuk disebut
pula pupuk organik karena
penyusunnya
terdiri dari bahan-bahan organik (Indriani, 1999)
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara praktukum
manajemen penggemukan sapi potong di Desa Lambusa, maka dapat ditarik simpulan
bahwa manajemen pemeliharaan sapi potong dilakukan secara intensif, dengan
pemberian pakan dan air minum secara adlibitun. Pakan yang diberikan berupa
hijauan rumput yang didapatkan di pinggir sawah.
5.2. Saran
Manajemen pemeliharaan
sapi sangatlah penting dilakukan kerena dapat menjamin keselamatan ternak dan
pengolahan kotoran, dan sanitasi kandang. Hal ini perlu ditingkatkan sosialisasi
kemasyarakat dalam memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuanya
dalam manajemen pemeliharaan sapi potong.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong.Jakarta: PT.Agro Media Pustaka.
Darmadja,
D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di
Bali. Desertasi. Program Pascasarjana. Universitas Pajajaran. Bandung.
Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan
Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.
Indriani, Y. H.,
1999. Membuat Kompos secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murtidjo,
B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. PT Kanisius. Yogyakarta. 128 hal.
Palabiran.
2012. Sistem pemeliharaan Sapi Potong. Http://infopeternakan. wordpress. com. Diakses tanggal 23 Maret 2013
Sarwono,
B dan H. B. Arianto. 2007. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sihombing,
T. 2000. Pinang Budi Daya dan Prospek Bisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, C.J.P, 2003. Farmasi
Rumah Sakit Teori & Penerapan.
Jakarta : EGC
Sugeng,
Y.B. 2003. Sapi Potong.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Susilorini,
E; Sawitri, ME; Muharlien. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Toelihere,M,R.,
1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.
Wello, basit.
2011. Manajemen ternak Sapi Potong. Masagena Presss. Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar